Sabtu, 24 September 2016
Makalah Ulumul Qur'an
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW
Allah menghendaki wahyu yang telah diturunkan-Nya itu terpelihara
keasliannya selama-lamanya. Ada dua cara yang dicatat oleh sejarah dalam
pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi yaitu dengan menghafal dan menuliskannya.
Dalam berbagai riwayat yang sahih disebutkan bahwa setiap turun wahyu, Nabi
memanggil para penulis wahyu untuk mencatat wahyu yang turun.
1.
Pemeliharaan Al-Qur’an dengan
cara menghafal
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa
baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal
dan menghayatinya, agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana
halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada
orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan
memantapkannya.
Bangsa Arab, termasuk para sahabat adalah orang-orang yang ummi
(tidak bisa menulis dan membaca). Namun mereka memiliki ingatan yang kuat dan
menakjubkan sebagaimana yang lazim dijumpai di kalangan masyarakat yang masih
buta huruf.
Oleh karena itu, meski orang-orang Arab tersebut pada umumnya tidak
bisa menulis dan membaca, mereka masih mampu membacakan ratusan bait syair dan
silsilah keturunan mereka yang panjang-panjang di luar kepala serta mampu
mengingat kembali berbagai macam peristiwa peperangan dan sejarah para pahlawan
mereka dalam waktu yang singkat dengan tepat.[1]
Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas
ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum. Akal fikiran
mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada
Al-Qur’an. Mereka menghafal ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka
tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
Pemeliharaan Al-Qur’an dengan cara menghafal dilakukan oleh Nabi
sendiri karena kebesaran Allah, Allah memberi kemukjizatan kepada Nabi Muhammad
sehingga Nabi mudah menghafalkan Al-Qur’an. Selain itu karena kecintaan Nabi
kepada wahyu, Nabi senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu
menghafal dan memahaminya.[2]
Sebagaimana firman Allah terdapat di dalam surah Al-Qiyamah ayat 17:
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan pembacaannya”
Dalam kitab Shahih-nya, Al-Bukhari telah mengemukakan
tentang tujuh penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayat, yaitu:
a.
Diriwayatkan dari Abdullah bin
Amr bin Al-Ash: (Muhajirin)Abdullah bin Mas’ud dan Salim,(Anshar) Muadz dan
Ubay bin Ka’ab.
b.
Diriwayatkan dari Qatadah:
(Anshar) Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.
c.
Diriwayatkan melalui Tsabit,
dari Anas:Abud Darda, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.
Ibnu Hajar ketika menuliskan biografi Said bin Ubaid menjelaskan
bahwa ia termasuk seorang penghafal Al-Qur’an dan dijuluki Al-Qari (pembaca
Al-Qur’an).
Penyebutan para penghafal Al-Qur’an yang berjumlah tujuh,bukan
berarti pembatasan. Karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah
menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Al-Qur’an dan mereka
memerintahkan anak dan istri mereka untuk menghafalkannya. Bahkan Rasulullah
selalu mendengar alunan suara dari rumah Abu Musa Al-Asy’ari di malam hari. Abu
Musa Al-Asy’ari berkata, Rasulullah SAW bersabda:
” Sesungguhnya aku
mengenal kelembutan alunan suara keluarga besar Al-Asy’ari di waktu malam
ketika mereka berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara
bacaan Al-Qur’annya di waktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat mereka
masuk di rumah itu waktu siang.”[3]
Disamping kemauan para sahabat mempelajari dan menghafal Al-Qur’an,
Rasulullah pun mendorong mereka untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada umat muslim
lain.
2. Pemeliharaan
Al-Qur’an dengan cara menuliskannya
Rasulullah SAW mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari
sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit.
Bahan-bahan yang dijadikan sahabat untuk mencatat wahyu-wahyu yang turun ialah
benda-benda yang dapat ditulis dan mudah didapatkan waktu itu seperti al-riqa
(batu, pelepah kurma, tulang, papan tipis,kulit atau daun kayu,dan pelana).
Para penulis wahyu itu mencatat setiap wahyu yang turun sesuai
dengan lafal yang disampaikan oleh Nabi. Pencatatan resmi di hadapan Nabi
inilah kemudian yang disajikan dasar oleh Abu Bakar dalam menghimpun Al-Qur’an.
Al-Qur’an sudah ditulis pada waktu Nabi masih Hidup, semua ahli mengkuinya,
baik ulama, maupun kaum orientalis. Namun yang menjadi permasalahan disini :
apakah keseluruhan Al-Qur’an sudah tercatat di waktu itu, pendapat Guillaume
ini tidak didukung oleh fakta sejarah dan argument yang kuat. Bukti-bukti yang
autentik menunjukkan bahwa tak ada al-Qur’an yang luput dari catatan penulis
wahyu meskipun Nabi dan para sahabatnya berada dalam keadaan dan kondisi yang
sangat sulit seperti yang mereka alami pada periode Mekkah. periode ini
sebagaimana dicatat oleh sejarah, dapat disebut masa kesengsaraan dan penderitaan
bagi Nabi dan para sahabatnya.
Walaupun keadaan teramat mencekam karena selalu dikejar-kejar oleh
kafir Mekah, namun para penulis wahyu tetap setia mendampingi Nabi dan
senantiasa siap setiap saat untuk menuliskan wahyu yang turun. Buktinya Umar
bin al-Khaththab menemukan naskah surat Thaha di rumah adiknya, Fathimah binti
al-Khaththab, setelah membaca naskah itu ia (Umar) bergegas ke rumah Rasul
Allah, dan langsung menyatakan masuk Islam di hadapan Nabi saw. Ini terjadi
antara tiga sampai empat tahun sebelum hijrah ke Madinah.
Dalam keadaan yang sangat sempit dan mencekam sebagaimana
digambarkan itu, pencatatan Alqur’an terus berjalan, tentu sangat masuk akal
bila pada periode Madinah pencatatan wahyu yang turun lebih banyak karena
situasi dan kondisis umat Islam waktu ini relatif lebih baik, aman dan
tenteram. Apalagi di periode Madinah ini umat Islam telah merupakan satu
komunitas muslim yang kuat dan disegani di tanah Arab dengan Nabi sebagai
pimpinannya.
Fakta sejarah yang dikemukakan itu sekaligus memberi gambaran kepada
kita bahwa al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad benar-benar asli dan
mutawir dikalangan sahabat dan umat islam waktu itu.
Al-Qur’an yang telah dihafalkan dan ditulis ditertibkan ayat-ayat saja, setiap surat
berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf (sab’atu
ahruf),tetapiAl-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh
(lengkap), sebab apabila wahyu turun segera dihafal oleh para penghafal dan
ditulis oleh para penulis.Dan saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk
membukukannya dalam satu mushaf,sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu
dariwaktu ke waktu. Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut
tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan
sesuai dengan petunjuk Nabi.
Dengan demikian, Jam’u Al-Qur’an (pengumpul / pemelihara Al-Qur’an)
pada masa Nabi dinamakan:[4]
a)
Hafizhan (hafalan)
b)
Kitabatan (penulisan)
B. Pemeliharaan Al-Qur’an
pada masa Abu Bakar
Rasulullah saw berpulang kerahmatullah tahun 11 H (632 M) di saat al-Qur’an telah dihafal dan tertulis,
ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja
dan setiap surat berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh
huruf (sab’atu ahruf), tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu
mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun segeralah dihafal oleh para qurra
dan ditulis oleh para penulis, tetapi pada saat itu belum diperlukan
membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu
dari waktu ke waktu. Susunan atau tertib penulisan al-Qur’an itu tidak menurut
tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan
sesuai dengan petunjuk Nabi. Andaikan pada masa Nabi Al-Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan
di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa
perubahan bila wahyu turun lagi.
Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah saw., maka
Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur
Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang
jaminan pemeliharaan-Nya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu
Bakar atas pertimbangan usulan Umar.[5]
Setelah Abu bakar diangkat menjadi Khalifah (Kepala Negara). Tak
lama kemudian sebagian kaum muslim murtad. Mereka tak mau membayar zakat.
Selain itu muncul beberapa Nabi palsu yang memberontak terhadap Abu bakar
seperti Musailamah al-Kadzdzab, al-aswad al-Ansi, Sajah binti al-Harists dan
Tulaihah. Akibatnya ketentraman masyarakat, stabilitas keamanan dan politik
terancam. Semua itu memaksa Khalifah untuk mengambil tindakan tegas dan keras.
Akhirnya pecahlah pertempuran yang sengit di Yaman melawan pasukan
Musailamah. Bergugurlah korban di kedua belah pihak. Diantara para sahabat Nabi
yang gugur, terdapat 70 orang mereka yang hafal al-Qur’an.Mengingat kondisi
yang kritis semacam itu, maka umar mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar supaya
Al-Quran yang sudah ditulis di masa Nabi itu dihimpun dalam satu kitab.
Berdasarkan hal tersebut, Umar mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar ayat
–ayat Al-qur’an segera di himpun dan dibukukan kedalam buku atau sebuah kitab,
karena kawatir hilang nya sebagin al-qur’an dengan wafat nya sebagian para
penghafal tersebut. Dalam shahih al-Bukhari diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, salah
seorang pencatat wahyu,dia menyatakan:
Sesuai perang
Yamamah Abu Bakar menemuiku.Umar yang hadir sama Abu Bakar berkata:bahwa
peperangan telah menewaskan banyak orang sahabat penghafaI Al-qur’an dan aku
khawatir apabila hal serupa juga terjadi di tempat lain,sehingga sebelum engkau
sempat menhimpnnya sudah ada bagian-bagian Al-qur’an yang di khawatirkan
apabila hal serupa yang terjadi di tempat lain
Sehingga sebelum engkau sempat
menghimpunnya sudah ada bagian-bagian
ku Al-qur’an yang di khawatirkan akan hilang.Dan menurut Abu Bakar menambahkan
lagi.Sesungguhnya aku telah berkata kepada Umar “Bagaimana mungkin aku
melakukan sesuatu yang Rasul sendiri tidak pernah melakukannya?Dan kemudian
Umar menjawab:”Demi Allah sesunguh nya
ini adalah hal yang baik.
Pada mulanya Abu Bakar menolak usul Umar itu dengan alasan, Nabi tak
pernah melakukannya. Ia khawatir, kalau-kalau perbuatan tersebut menyeleweng
dari garis yang telah ditetapkan Nabi.
Akhirnya setelah melalui diskusi yang relative lama antara kedua
tokoh itu, Allah membukakan hati Abu Bakar, ia menerima dan melaksanakan
gagasan Umar tersebut. Lalu ia memanggil Zaid bin Tsabit, seseorang pemuda yang
berpengetahuan luas, jujur, dan salah seorang penulis wahyu, untuk meneliti
kembali naskah-naskah al-Qur’an yang telah ditulis ketika Nabi masih hidup.
Mulanya Zaid bin tsabit menolak seperti halnya Abu Bakar. Keduanya bertukar
pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah
penulisan Al-Qur’an kepadanya.
Zaid sangat berhati–hati dalam menjalankan tugasnya, dari segi
mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang tertulis di daun, pelepah kurma, batu, tulang
unta,dan lain-lain. Sekalipun ia hafal seluruh ayat secara berurutan sesuai
ajaran rasulullah, ia tetap merasa perlu adanya saksi hafalannya dengan
sahabat-sahabat kepercayaan yang baik hafalanya. Setelah itu dengan sangat
hati-hati dan teliti di saksikan 2 orang saksi, ia menyalin ulang kumpulan
ulang ayat-ayat tersebut dan mengikatnya menjadi satu menjadi sebuah mushaf.
Dengan demikian, pengumpulan Al-qur’an yang dilakukan oleh zaid pada periode
ini dilakukan dengan berpijak pada tiga hal yaitu;
a. Ayat-ayat
al quran yang ditulis dihadapan nabi dan yang disimpan dirumah beliau.
b. Ayat-ayat
yang ditulis adalah yang dihafal para sahabat yang hafal (hafidz) Al qur’an.
c. Penulisan
dipersaksikan kepada dua orang sahabat bahwa ayat-ayat tersebut benar-benar
ditulis dihadapan nabi pada saat masa hidupnya
Tugas penulisan al quran dapat dilaksanakan zaid bin Tsabit dalam
waktu satu tahun yaitu sejak selesai perang yamamah sampai sebelum abu bakar
wafat.
Dengan berpijak pada tiga hal tersebut, akhirnya Zaid berhasil
menghimpun Al-Qur’an dalam bentuk buku yang kemudian diberi nama ‘MUSHHAF’.
Kemudian disimpan dirumah Abu Bakar. Setelah beliau wafat, disimpan di rumah
Umar, dan sepeninggal Umar disimpan di rumah Hafsah, putri Umar, yang juga
salah seorang mantan istri Rasul Allah SAW.
Kita sudah mengetahui bahwa
Al-Qur’an sudah tercatat sebelum masa Abu Bakar, yaitu masa Nabi, tetapi
masih berserakan pada kulit, tulang belulang dan pelepah korma. Kemudian Abu
Bakar memerintahkan agar catatan – catatan tersebut dikumpul dalam satu
Mushhaf.
Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushhaf. Fakta sejarah itu menimbuktikan dengan jelas
bahwa Abu Bakar amat hati-hati dalam menjaga kemurnian dan keutuhan Al-Qur’an
yang merupakan dasar bagi keseluruhan ajaran Islam.
Para Ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushhaf itu
baru muncul sejak saat Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an.Tidak berlebihan bila
Ali bin Abi Thalib menyatakan : “Orang yang paling besar jasanya dalam
membukukan Al-Qur’an ialah Abu Bakar. Dialaha orang yang pertama membukukan
kitab Allah”.
Jam’ul Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini dinamakan
Jam’ul Al-Qur’an ats-tsanni (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
C. Kodifikasi Al-Qur’an pada
masa Usman bin Affan
Telah dimaklumi bahwa Nabi SAW memeberikan kelonggaran kepada sahabat-sahabatnya
untuk membaca Al-Qur’an lebih dari satu huruf (dialek) sesuai dengan yang
diajarkan jibril demi memudahkan umat membaca dan menghafalnya. Tapi kerukunan
itu tidak bertahan lama, sekitar 6 tahun setelah Usman menjadi Khalifah, mulai
timbul persoalan yang berekor menjadi percekcokkan yang tajam di tengah
masyarakat, bahkan antara satu aliran
qiraat dengan yang lain saling mengkafirkan karena masing-masing pihak meyakini
qiraatnyalah yang benar dan yang lain salah seperti yang terjadi antara
penduduk Syam dan Iraq. Terjadinya pertengkaran yang tajam, seperti itu
erat hubungannya dengan makin jauhnya mereka dari masa Nabi. Sehingga mereka
tidak dapat memahami dan menghayati dengan baik apa yang membuat qiraat
itu bervariasi. Perbedaan itu juga disebabkan karena pada masa itu penulisan al
quran tanpa titik titik (di atas atau di bawah huruf) dan tanpa syakal (tanda
bunyi), seperti fathah, kasrah, dhommah, sakinah,dll. Dan juga seperti
orang membaca ala quran tidak sama,
tergantung cara pencatatan al quran pada masing-masing orang. Sebagian itu
bercampur bacaan dengan kesalahan, tetapi masing-masing tetap mempertahankan
dan berpegang pada bacaaannnya. Kondisi yang demikian itu diperburuk lagi
oleh makin heterogennya umat karena berbagai suku bangsa berbondong-bondong
masuk agama Islam, sedangkan mereka mempunyai latar belakang agama dan
kepercayaan yang berbeda-beda, Dalam kondisi semacam ini, sangat masuk
akal bila timbul pertikaian yang tajam di kalangan mereka sebagai akibat logis
dari perbedaan qiraat yang dapat membuat pengertian ayat menjadi rancu.
Orang yang pertama yang memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat
yang bernama hud Zaifah bin al yaman. Ketika beliau ikut dalam perempuran
menaklukan armenia di azarbaijan, dalam perjalanan dia pernah mendengar
pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat al quran, dan pernah
mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya: “ bacaan saya lebih baik
dari pada bacaanmu”
Keadaan ini mengagetkannya, maka setelah kembali ke madinah, dia
segera menemui utsman bin affan seraya menceritakan apa yang dilihatnya
mengenai pertikaian kaum muslimin tentang bacaan al quran itu. Kemudian Hud Zaifah
bin al yaman memberikan ide kepada Usman untuk membentengi umat dari makin
melebarnya perpecahan di kalangan mereka dengan menyatukan mereka pada satu
mushhaf induk yang akan dijadikan satu-satunya pedoman di seluruh wilayah
negara yang pada waktu itu telah membentang luas mulai dari daerah-daerah
Parsia (Iran) di timur sampai ke Afrika utara di barat.
Kestabilan politik Yang mulai terancam, dan sebagainya. Akhirnya, Usman
menerima dan menghargai ide Hud Zaifah untuk membuat satu mushhaf yang dapat
dijadikan pedoman bagi umat dalam membaca dan memahami Alqur’an. Untuk
maksud itu, Khalifah segera meminjam mushhaff Abu Bakar yang disimpan di rumah
Hafshah dan berjanji akan mengembalikannya lagi setelah dipakai. lalu usman
mebentuk panitia yang terdiri dari:
a.
Zaid bin Tsabit,ketua (dari kaum
Anshar,Madinah)
b.
Abdullah bin Zubair,anggota(dari Kaum Muhajirin Quraisy,Makkah)
c.
Sa’id bin Ash,anggota(dari kaum
muhajirin quraisy,makkah)
d. Abdurrahman
bin Raist bin Hisyam,anggota(dari kaum muhajirin dan Quraisy,Makkah)
Khalifah Usman terlebih dahulu memberikan pengarahan kepada 3 tim
agar:
a.
Berpedoman kepada bacaan mereka yang
hafal al-qur’an dengan baik dan benar.
b.
Bila ada perbedaan pendapat antara
mereka tentang bahasa(bacaan),maka haruslah dituliskan menurut dialek suku
quraisy,sebab alqur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Tugas tim ini ialah meneliti kembali ayat-ayat Alqur’an dengan
menjadikan Mushhaf Abu Bakar sebagai standar.Dengan menerapkan kriteria yang
digariskan Khalifah Usman itu, Maka tim tersebut berhasil membuat beberapa
mushaf. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushhaf.
Terdapat perbedaan pendapat tentang kemana lembaran – lembaran asli
yang dipinjam Usman kepada Hafshah ,
1.
Ada yang mengatakan Usman
kemudian mengembalikan lembaran – lembaran asli kepada Hafshah.
2.
Ada yang mengatakan lembaran –
lembaran asli tetap ada pada Usman sampai ia wafat. Setelah itu lembara- itu di
musnahkan .
3.
Ada juga ulama yang mengatakan
lembaran – lembaran asli itu diambil oleh Marwan bin Al-Hakam lalu dibakar.
Usman mengirimkan mushhaf
baru ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushhaf
lainnya untuk dibakar.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushhafyang dikirim usman
ke berbagai daerah:
a.
Ada yang mengatakan tujuh buah
mushhaf . Dikirim ke Makkah, Syam, Bashrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan satu di Madinah.
Ibnu Abu Daud mengatakan “ aku mendengar Abu Hatim As-Sijistani berkata, “telah
ditulis tujuh mushhaf, lalu dikirim ke Makkah, Syam, Bashrah, Kufah, Yaman,
Bahrain, dan satu diMadinah.
b.
Sebagian ulama berpendapat
bahwa ketika Usman menulis mushaf-mushaf itu, ia membuat sebanyak empat buah
salinan,dikirim ke daerah masing- masing satu buah. Yaitu ke Kufah, Basrah,
Syam, dan satu tinggal untuk dirinya sendiri.
c.
Ada juga yang mengatakan bahwa
jumlahnya ada lima mushhaf. Menurut As-Suyuthi,pendapat inilah yang masyhur.
Dari mushaf yang di tulis pada masa usman itulah kaum muslimin di
seluruh pelosok menyalin alqur’an.Sementara model dan metode tulisan yang ada
dalam mushaf yang di tulis pada masa usman ini kemudian di kenal dengan sebutan
rasm utsmani.
Dengan demikian maka penulisan Alqur’an di masa ustman memiliki
faedah di antaranya:
a.
Menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf
yang seragam ejaan tulisannya.
b.
Menyatukan bacaan,walaupun masih ada
kelainan bacaan,tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf usman.sedangkan
bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan mushaf mushaf usman tidak di
bolehkan lagi.
c.
Menyatukan
tertib susunan surah-surah,menurut urutan seperti yang terlihat pada
mushaf-mushaf sekarang.[6]
D. Usaha pemeliharaan Al-Qur’an setelah khalifah
keempat
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. yang disebut al-Qur’an dan yang termuat dalam mushaf, adalah
otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT), dan semua wahyu yang
diterima Nabi Muhammad SAW dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat
dalam al-Qur’an. Keotentikan al-Qur’an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian
para sahabat Nabi memelihara sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula
kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad saw., al-Qur’an adalah merupakan
kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan selalu dipelihara kemurniannya
hingga akhir zaman.
Demikianlah Allah menjamin keotentikan al-Qur’an, jaminan yang
diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya. Dengan jaminan itulah
setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an
tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw.[7]
Usaha pemeliharaan
Al-qur’an setelah khalifah yang empat :
a)
Melestarikan hafalan Al-Qur’an
Setelah khalifah keempat umat muslim sangat memelihara Al-Qur’an.
Banyak cara yang mereka lakukan.Salah satu yang dilakukan umat muslim adalah
melestarikan hafalan Al-Qur’an. Untuk melestarikan hafalan Al-Qur’an dari
kelupaan maka umat islam salalu mengingat beberapa hal,yaitu:[8]
1.
Menghafal itu lebih mudah
daripada menjaganya
Telah diceritakan oleh Yahya bin Yahya, katanya: Saya belajar(membaca)
kepada Malik dari Nafi’dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah
SAW,bersabda :
“Perumpamaan orang yang
hafal Al-Qur’an adalah bagaikan unta
yang diikat lehernya, apabila mengikatnya kuat dan tepat, maka terpeliharalah
dan manakala mengikatnya tidak kuat, maka ia akan lepas dan lari.”(HR.Bukhari,
Muslim, dan An-Nasa’i)
2.
Anjuran Nabi untuk
memeliharanya
Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda:
“Bersungguh-sungguhlah kamu
wahai ahlul-Qur’an (dalam memeliharanya). Demi Zat yang diriku dalam
kekuasaan-Nya,sesungguhnya Al-Qur’an itu lebih liar daripada unta yang
diikatnya.”(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Al-Humaidi)
3.
Ancaman terhadap orang yang
melupakannya
Diriwayatkan dari Nabi SAW dari hadits Sa’ad bin Ubadah,
sesungguhnya Nabi SAW, bersabda:
“Barangsiapa belajar
(hafal) Al-Qur’an kemudian melupakannya, maka Allah akan mempertemukannya di
hari kiamat nanti dalam keadaan ajdzam (tidak memiliki hujjah).”HR.Abu Daud,
Ahmad dan Ad-Darami.
b)
Memperindah penulisan.
Tulisan yang biasa dipergunakan pada abad ke-7 Masehi,yakni pada
masa Rasulullah, hanya terdiri atas simbol dasar yang hanya melukiskan struktur
konsonan dari sebuah kata dan sering mengandung kekaburan pada masa permulaan
islam ,seluruh huruf ditulis dengan cara sederhana yaitu dalam bentuk garis
lurus tanpa titik dan tampa baris,manuskrip Al- qur’an dari generasi pertama
dan naskah Arab pada umum nya tidak memiliki tanda tanda tersebut ,hal ini baru
diperkenalkan kedalam penulisan Al- qur’an pada masa pemerintahan Bani Umayah
yang kelima,yaitu Abdul Malik bin Marwan[66-86h/685-705m] dan juga pada masa
pemerintahan gubernur Al –Hajjaj di
Irak.
c)
Pencetakan Al- qur’an
Al- qur’an pertama kali dicetak dengan mesin yang dapat digerakkan atau dipindah pindahkan dibuat di
Hamburg Jerman pada 1694 atau pada abad ke-12 Hijriyah,Naskah al- qur’an yang
tercetak sebagai standar masa kini dan di pergunakan oleh umat islam di dunia
islam adalah al kur’an edisi mesir ,edisi raja fu’ad,karena dialah yang
memperkenalkan nya di Mesir,di cetak pertama kali pada tahun 1925m/1344H .yang
kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia islam.kerena mesir pada waktu itu
pernah menjadi pusat informasi dan peradaban dunia islam,[pada masa
sekarang],di Negara-Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim,proses pemeliharaan
Al- qur’an dilakukan antara lain dengan cara menghafal di sekolah Awaliyah.
[1]
H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an (Verifikasi tentang Otentisitas
al-Qur’an), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2010, Cet. Ke-1, h. 182.
[2] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta Timur:Pustaka Al-Kautsar) cet.13, h.151
[3] HR.Al-Bukhari dan
Muslim
[4] Dr.H. Anshori, LAL.
MA, Ulumul Al-Qur’an, Kaidah-kaidah Memahami
Firman Tuhan ( Jakarta:PT RajaGrafindo) cet-1, h.79
[5] Manna Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Penj. Muzakir AS, (Bogor : Pustaka
Litera AntarNusa), Cet. 8, h. 187
[6] DR.H.Anshori,LAL,M.A,
ulumul qur’an, (PT Rajagrafindo persada:Jakarta), 2013, hlm 79.
[8] Drs. Ahsin
Wijaya Al-Hafids, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta:Bumi Aksara), cet-5,
h.85-86.
Langganan:
Postingan (Atom)